sejarah desa jayapura kec.cigalontang



Sejarah Desa Jayapura Kec. Cigalontang
Jayapura adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya. Pengambilan nama Jayapura sendiri diambil dari nama tokoh di Jayapura yaitu Mbah Puradiwangsa. Konon, Cigalontang kedatangan seorang pendatang yang bertempat tinggal di Cisalak, nama pendatang itu adalah Mbah Ukur. Mbah Ukur menikah dengan Nyi Sri Nagalintang dan mempunyai empat orang anak yaitu Mbah Raksa, Puradiwangsa, Candi dan Nyi Saripuaci Nagalintang.
Mbah Ukur adalah seseorang yang sakti mandraguna, dia mempunyai dulang emas yang akan diberikan kepada salah seorang anaknya. Akan tetapi dari pembagian tersebut terjadi pertengkaran antara Mbah Raksa dengan Puradiwangsa dan Candi. Pertempuran itu terjadi karena Puradiwangsa menyarankan agar dulang emas itu diberikan kepada adik bungsunya yaitu Nyi Saripuaci Nagalintang, namun Mbah Raksa tidak setuju dengan usulan tersebut, ia pun lari dan terbang ke angkasa dengan membawa dulang emas itu, namun usahanya itu digagalkan oleh Mbah Ukur yang dengan kekuatannya menurunkan Mbah Raksa kembali ke bumi. Setelah sampai di bumi, kepala Mbah Raksa diinjak oleh Mbah Ukur sampai badan Mbah Raksa masuk ke dalam tanah, yang tersisa hanya kepalanya.
Setelah kejadian itu Mbah Ukur memberikan kekuatannya kepada Nyi Saripuaci Nagalintang, akan tetapi badan Nyi Saripuaci tidak kuat untuk menampung seluruh kekuatan itu, hingga akhirnya Mbah Ukur memerintahkan Nyi Saripuaci Nagalintang untuk mandi di Cibeuntik, salah satu mata air yang ada di Jayapura. Mata air ini berasal dari air yang dibawa oleh Mbah Ukur dari Pamijahan memakai bambu. Lantas bambu itu ditancapkan ke dalam tanah hingga munculah air dari bambu itu, hingga disebutlah mata air itu dengan sebutan Cibeuntik.
Akan tetapi, malang nasib Nyi Saripuaci Nagalintang yang cantik jelita, dia meninggal karena terlibat perkelahian di antara dua lelaki yang ingin meminangnya, hingga akhirnya keluar sumpah dari mulut Nyi Saripuaci Nagalintang sebelum dia meninggal, dia bersumpah selama tujuh turunan pantang memiliki rambut panjang, pantang memiliki wajah cantik dan pantang tidak laku (jomblo), kalau dalam bahasa Sunda cadu rambut panjang, cadu geulis, jeung cadu jomblo, jadi walaupun tidak cantik tetapi tidak jomblo. Hingga akhirnya nama Jayapura diambil dari nama Mbah Puradiwangsa sedangkan nama Nyi Saripuaci Nagalintang dijadikan nama sebuah sekolah di Jayapura yaitu SDN Nagalintang. Hal tersebut dikemukakan oleh Pak Mahmud yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Jayapura.
Dikarenakan dahulunya Mbah Puradiwangsa dan Nyi Saripuaci Nagalintang adalah tokoh di desa Jayapura, masyarakat pun mempercayai bahwa makam mereka adalah makam keramat. Makam Mbah Puradiwangsa berada di belakang kantor balai desa Jayapura, sedangkan makam Nyi Saripuaci Nagalintang berada di pemakaman dekat KUD Desa Jayapura. Menurut masyarakat tidak jarang ada yang datang untuk berziarah ke makam Mbah setiap malam Jumat. Masyarakat juga percaya bahwa makam Mbah Puradiwangsa adalah makam keramat.
Selain makam keramat, terdapat juga mata air yang dipercaya dapat mempermudah jodoh. Terdapat empat mata air yang jaraknya cukup berjauhan, di sebelah utara terdapat mata air Cibeuntik, sebelah timur mata air Cikadongdong, di sebelah selatan mata air Cidulingdulang, dan di sebelah barat mata air Cijajaway. Akan tetapi, mata air yang dipercaya dapat mempermudah jodoh dan membuat orang yang mandi disitu menjadi cantik hanya mata air Cibeuntik. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan sebutan mata air Panyipuhan. Apabila ingin mengambil air atau mandi di mata air ini harus pada tanggal 10 sampai 20 Maulud.
Setiap bulan Maulud di Jayapura juga sering diadakan pengajian yang bertema Maulid Nabi. Pengajian ini diselenggarakan dibeberapa masjid di Jayapura. Penceramah yang mengisi setiap pengajian juga berbeda-beda. Selain itu juga sering diadakan lomba-lomba untuk memperingati Maulid Nabi yang pesertanya terdiri dari anak-anak SD.
Selain bulan Maulud, setiap memasuki bulan Safar masyarakat Jayapura selalu mengadakan pengajian, yang ditutup dengan acara makan bersama. Tujuannya agar desa Jayapura tidak terkena penyakit, karena pada bulan Safar dipercaya dengan diturunkannya seribu penyakit oleh Allah SWT. Pengajian itu biasa disebut oleh masyarakat dengan sebutan pengajian nyalametkeun lembur, yang artinya menyelamatkan desa. Adapun pengajian rutin yang diadakan setiap minggunya yaitu setiap hari Selasa dan Kamis malam.
Kebersamaan untuk mempererat tali silaturahmi warga Jayapura juga tidak hanya melalui pengajian, bisa juga melalui gotong royong yang dilakukan oleh warga Jayapura, terutama gotong royong memperbaiki dan membersihkan jalan. Gotong royong ini sering dilakukan ketika musim hujan, karena desa Jayapura rawan terjadi longsor yang menyebabkan akses jalan terganggu dan saluran air yang terhambat oleh tanah longsor. Oleh karena itu, tidak jarang warga kekurangan air ketika musim hujan dikarenakan saluran air yang terhambat.
Sama halnya, masalah kebersamaan ini ketika memperingati hari kemerdekaan, semua warga Cigalontang berkumpul di Jayapura, tepatnya di lapangan depan kantor kecamatan. Semua warga berkumpul dengan memakai kostum, menampilkan berbagai kesenian dan membawa ciri khas dari setiap desanya. Salah satu yang khas dari Jayapura adalah jampangan. Jampangan adalah rumah-rumahan kecil yang dipanggul oleh empat orang yang berisi macam-macam pangan, sayuran, hasil bumi, dan lain-lain. Jampangan adalah wujud rasa syukur masyarakat kepada Tuhan YME atas rezeki yang telah diberikan.
Desa Jayapura merupakan desa yang kaya akan kesenian, di antaranya dogdog angklung sered, dogdog angklung buncis, dan pencak silat. Akan tetapi kesenian yang masih bertahan sampai saat ini hanya dogdog angklung buncis dan pencak silat. Dogdog angklung buncis lebih banyak dimainkan di dusun 1, sedangkan pencak silat lebih banyak di lakukan di dusun 2 (Cimaungpaeh).
Akan tetapi ada satu tradisi yang selalu dilakukan oleh masyarakat Jayapura sebelum menyelenggarakan acara besar, mereka biasa menyanyikan lagu Singkanyo yang dipersembahkan untuk Mbah Puradiwangsa. Konon apabila mereka tidak menyanyikan lagu Singkanyo sebelum acara, maka acara tidak akan berlangsung dengan baik/lancar, misalnya listrik mati dan generator tidak dapat digunakan, hujan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sebelum acara dimulai salah seorang penduduk Jayapura pasti akan menyanyikan lagu Singkanyo. Pengertian dari Singkanyo itu sendiri adalah baju sepotong (baju yang lengannya tidak panjang). Lagu ini berbahasa Sunda dan dinyanyikan dengan cara dikawihkan.


1 komentar: